Bisnis.com, SURABAYA - Kapolda Jawa Timur Irjen Pol. Luki Hermawan mengatakan pihaknya telah berkomunikasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Australia terkait dengan kasus insiden di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya, dengan tersangka Veronica Koman.
"Pihak Divhubinter dan Interpol sudah berkomunikasi dengan Kementerian Luar Negeri dan dengan KBRI (di Australia). Saya mendapat kabar mereka sudah ada komunikasi langsung dengan pihak KBRI. Isi komunikasinya saya tidak tahu. Namun, yang penting sudah ada komunikasi," kata Irjen Pol. Luki Hermawan di Mapolda Jatim, di Surabaya, Jumat (20/9/2019).
Hingga saat ini, Polda Jatim belum bisa berkomunikasi dengan Veronica Koman. Namun, Kapolda memastikan yang bersangkutan masih berada di Australia.
"Masih di negara tetangga, Australia. Untuk itu, kami terus menjalin komunikasi dengan pihak Kementerian Luar Negeri maupun KBRI di Australia," ucap jenderal polisi bintang dua tersebut.
Dengan diterbitkannya DPO, Luki menyatakan tidak ada tim khusus yang dibentuk untuk menjemput Veronica Koman di Australia.
"Tidak ada (tim khusus). Ini sudah yang terkait dengan ini hanya pihak Hubinter Mabes Polri dan lain-lainnya," katanya.
Baca Juga
Sebelumnya, penyidik Subdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Jatim telah mengirim surat panggilan kedua atas nama Veronica Koman pada pekan lalu untuk dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka pada tanggal 13 September 2019.
Polda Jatim telah memberikan tambahan waktu lima hari untuk memenuhi panggilan karena Veronica yang masih berada di Australia.
Veronica Koman ditetapkan sebagai tersangka kasus ujaran kebencian dan penyebaran hoaks terkait insiden di Asrama Mahasiswa Papua (AMP), Jalan Kalasan Surabaya, 17 Agustus 2019.
Polisi menyebut Veronica telah melalukan provokasi di media sosial Twitter yang ditulis dengan menggunakan bahasa Inggris dan disebar ke dalam negeri maupun luar negeri, padahal dibuat tanpa fakta yang sebenarnya.
Akibat perbuatan yang dilakukannya, Veronica dijerat dengan pasal berlapis, yakni UU ITE, Pasal 160 KUHP, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Suku, Etnis, dan Ras.