Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perindustrian mendorong pabrikan pupuk yang memiliki line produksi lebih dari 20 tahun agar segera melakukan revitalisasi untuk dapat bersaing secara global.
Achmad Sigit Dwiwahjono, Dirjen Industri Kimia Tekstil dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyampaikan jika produsen pupuk nasional yang memiliki lineproduksi lebih dari 20 mengalami over supply. Hal itu dikarenakan stok mereka tidak dapat diekspor karena kalah bersaing dengan produsen pupuk di Asia.
"Bagaimana bisa bersaing jika beberapa pabrikan pupuk nasional memiliki teknologi yang tertinggal. Padahal di negara lain sedang giat melakukan revitalisasi pabrikan pupuk," kata Sigit ketika dihubungi Bisnis, Rabu, (23/8/2017).
Menurutnya, dengan menggunakan teknologi yang lebih muktahir berbagai efisiensi dapat dilakukan. Salah satunya mengenai harga gas dapat ditekan karena mesin baru lebih hemat dan ramah lingkungan. Selain itu, output yang dapat diproduksi oleh mesin terbaru dengan kapasitas yang lebih banyak dibandingkan dengan mesin lama.
Kemenperin menilai, pada 2016 lalu Indonesia telah impor sebanyak 600.000 ton pupuk. Hal ini menjadi salah satu indikasi bahwa di pasar nasional pun pabrikan pupuk kalah bersaing. "Harga yang ditawarkan importir pupuk lebih menarik dibandingkan dengan produk nasional," katanya.
Beberapa waktu lalu ada 3 pabrikan yang sukses merevitalisasi pabrik, meliputi Pusri 2B, Pupuk Kaltim V, dan Petrokimia Gresik Amurea II. Menurut catatan, Pabrik Kaltim V telah beroperasi sejak November 2015 dengan kapasitas 1,15 juta ton urea dan 825.000 ton amoniak per tahun.
Selain itu, pabrik Pusri II B yang telah direvitalisasi memiliki kapasitas produksi 907.000 ton urea dan 660.000 ton amoniak. Adapun, pabrik Petrokimia Gresik Amurea II memiliki kapasitas produksi 570.000 ton urea dan 660.000 ton amoniak per tahun.
Investasi yang dibutuhkan untuk merevitalisasi sekitar Rp7 triliun–Rp8 triliun untuk pabrik Kaltim V, dan Pusri II B sebesar US$657 juta.