Bisnis.com, MALANG — Oposisi penting untuk mencegah terjadinya praktik kartel politik meski perolehan kursi dari oposan kurang dari 50%.
Pengamat politik Universitas Brawijaya, Wawan Sobari, mengatakan jika pemerintah nanti tanpa oposisi, maka yang terjadi nantinya kartel politik. Padahal realitasnya, tidak semua masyarakat menyetujui kebijakan pemerintah sehingga perlu disuarakan.
"Namun keputusan oposisi atau justru koalisi tergantung sikap kingmaker, yakni partai inti dan ketua partai," tegas pengamat politik Universitas Brawijaya Wawan Sobari, Selasa (27/2).
Menurut dia, praktik kartel politik terjadi ketika aktor partai dan kelompok politik berkoalisi untuk mengontrol dan memanipulasi proses politik demi kepentingan mereka. Mirip kartel ekonomi, dunia usaha mengendalikan pasar dan mempertahankan dominasi.
Oleh karena itulah, dia menegaskan, kartel politik bakal mengikis prinsip-prinsip demokrasi, transparansi dan persaingan sehat dalam sistem politik. Oposisi diperlukan agar keputusan legislatif berdasarkan konsensus yang mengandaikan adanya negosiasi atas lahirnya keputusan politik.
Wawan Sobari mengukur dari sisi kelembagaan, PDIP dan PKS berpotensi paling kuat menjadi oposisi ketimbang parpol lainnya. Jika pun suara dari oposisi tidak sampai mencapai 50% dari kursi di parlemen maka oposisi tetap penting. Jika kritik disampaikan secara artikulatif sehingga akan dapat memperoleh dukungan dari masyarakat luas.
Baca Juga
Guru Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Muchamad Ali Safaat, menambahkan adanya oposisi kuat untuk penyeimbang. Perlu membentuk oposisi agar tidak terjebak kepentingan praktis itu pembuktiannya melalui hak angket.
"Pada pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo ada oposisi masyarakat sipil. Namun tidak ada yang menyambut di parlemen," tuturnya.(K24)