Bisnis.com, Surabaya - Kenaikan harga minyak dunia berdampak terhadap harga minyak dalam negeri. Upaya pemerintah tetap menyubsidi Pertalite harus dikuti perubahan perilaku transportasi masyarakat.
Hal ini disampaikan Hadi Paramu, pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Kamis (31/8/2023). "Kenaikan harga minyak internasional akan berdampak terhadap perekonomian nasional. Kita adalah negara net importir minyak. Tapi secara umum konsumsi minyak dalam negeri lebih tinggi daripada produksinya. Jadi ada defisit kebutuhan minyak domestik yang harus dipenuhi dari impor," katanya.
Berdasarkan laporan pada Juli 2023 dari Badan Energi Internasional, permintaan minyak global dapat naik 2,2 juta barel per hari untuk mencapai rekor lebih dari 102 juta barel. Terpangkasnya pasokan dari OPEC plus awal bulan ini juga ikut mengerek harga minyak.
Arab Saudi memangkas produksi sebesar satu juta barel per hari pada Juli kemarin. Demikian juga Rusia yang diperkirakan akan mengurangi produksinya sebesar 500 ribu barel per hari.
Jadi saat pemerintah mengimpor minyak, harga BBM dalam negeri akan terpengaruh pengerakan harga dunia. "Penyesuaian-penyesuaian terhadap harga dunia sangat logis untuk dilakukan, agar tidak ada disparitas harga antara harga minyak dunia dengan harga minyak dalam negeri," kata Hadi.
Kebijakan pemerintah untuk mempertahankan subsidi pertalite agar tak ada perubahan harga, menurut Hadi, akan berdampak positif unuk menjaga daya beli masyarakat. "Biaya transportasi juga lebih ramah, sehingga dorongan inflasinya akan berkurang, Purchasing power dari masyarakat juga naik," katanya.
"Kita tahu transportasi penting dalam perekonomian dan distribusi barang. Akibat (kenaikan harga BBM) mungkin tak hanya belanja BBM konsumsi rumah tangga yang meningkat, tapi juga berdampak pada terdorongnya kenaikan harga," kata Hadi.
Hal ini jika dibiarkan akan membebani masyarakat. "Daya beli masyarakat akan menurun jika tidak diiringi kenaikan pendapatan yang setara," kata Hadi.
Berdasarkan data dari Pertamina Wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara, pertalite subsidi masih mendominasi market share BBM yakni sekitar 86 persen. Sementara itu Pertamax hanya 13 persen, Pertamax Turbo 0,3 persen. Produk baru Pertamax Green baru tersedia di Surabaya dengan market share 0.4 persen.
Biosolar subsidi memiliki market share 96 persen. Angka ini diikuti market share Dexlite 2,5 persen dan Pertamina 1,5 persen.
Apabila terjadi kenaikan harga bbm non subsidi menyesuaikan harga minyak dunia maka golongan menengah keatas yg terdampak hanya 13-15% untuk gasoline/bensin dan 4% untuk gasoil/diesel.
Namun Hadi mengingatkan kepada masyarakat agar tak termanjakan dengan subsidi pemerintah dan mulai mengubah gaya hidup menjadi lebih hemat.
"Hindari pengeluaran yang tidak perlu, terutama terkait bahan bakar. Mungkin masyarakat mulai menggunakan transportasi publik atau transportasi yang lebih efisien. Itu mungkin gerakan yang bisa dilakukan masyarakat," katanya.
Hadi juga mengingatkan, subsidi BBM ini hendaknuya benar-benat dinikmati kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah, dan bukan oleh kalangan ekonomi yang mampu. Ini juga untuk menjaga agar subsidi tak semakin meningkat.
"Kalau disparitas harga dalam negeri dan luar negeri semakin lebar dengan semakin tingginya harga minyak dunia, volume subsidi akan bertambah besar. Ini akan menyedot resource cukup besar dari pemerintah. Semestinya bisa untuk pembangunan, tapi ini untuk menyubsidi konsumsi bahan bakar masyarakat," kata Hadi.
Pemerintah diminta Hadi untuk bergegegas menyediakan fasilitas transportasi publik yang layak, sehingga masyarakat tertarik menggunakannya.
"Selama ini kenapa kemacetan belum bisa terurai, karena masyarakat merasa lebih enjoy mernggunakan transportasi pribadi dibandingkan transportasi umum," katanya.
"Kalau transportasi publik bisa ditingkatkan kenyamanan, keamanan, dan keekonomisannya, mungkin itu satu cara untuk menekan gejolak atau dampak kenaikan harga minyak dunia," kata Hadi.