Bisnis.com, SURABAYA - Antiradikalisme menjadi isu yang belakangan menghangat. Menjelang Pilkada 2020, Gerakan Pemuda Ansor menantang calon wali kota Surabaya berani menyatakan menolak radikalisme.
Pengurus Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kota Surabaya menantang para bakal calon wali kota dan calon wakil wali kota setempat untuk meneken pakta integritas menolak paham radikal.
''Kami tantang mereka, berani menandatagani pakta Integritas menetang paham radikal apa tidak, sebab ini jadi cerminan dalam mengelola Surabaya ke depan,'' kata Ketua PC GP Ansor Surabaya H.M. Faridz Afif di Surabaya, Rabu (12/2/2020).
Selain itu, lanjut dia, para kandidat yang maju di Pilkada Surabaya 2020 harus siap membersihkan paham radikal, terutama terhadap aparatur sipil negara (ASN) yang terlibat dalam organisasi yang dilarang pemerintah.
Menurut Afif, Surabaya menjadi pintu gerbang untuk meraih kemenangan tidak hanya dalam tataran nasional, tetapi juga internasional.
''Ada pernyataan, siapa yang bisa menguasai Surabaya, maka Indonesia bisa digenggam,'' ujarnya.
Afif menilai sangat masuk akal lantaran momen-momen penting terjadi di Surabaya di setiap pergolakan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ia mencontohkan lahirnya Resolusi Jihad yang dikeluarkan K.H. Hasyim Asyari dan para ulama NU terjadi di Surabaya, kemudian pertempuran yang membakar seluruh masyarakat Indonesia menolak kembalinya sekutu pada tanggal 10 November juga terjadi di Surabaya.
Bahkan, kata dia, Bung Karno [Presiden ke-1 RI] yang besar di Surabaya mewariskan sifat-sifat kenegaraan kepada masyarakat Surabaya. Dengan catatan sejarah seperti itu, lanjut dia, wajar jika Surabaya menjadi incaran banyak pihak untuk menancapkan tonggak perjuangan.
"Kali ini yang menjadi perhatian banyak kalangan adanya, menyusupnya, paham radikal di Surabaya. Untuk itu, mari para bakal cawali/cawawali, diputuskan hari ini semuanya menolak paham radikal dengan menandatangani pakta integritas,'' katanya.
Pernyataan Afif ini juga terkait wacana pemulangan ratusan warga asal Indonesia yang bergabung dengan ISIS di Suriah.
Afif menilai WNI yang sudah berikrar untuk meninggalkan Indonesia dan memilih bergabung dengan kelompok teroris (ISIS) bukan lagi bagian dari Indonesia.
Saat ini, kata dia, Indonesia sedang digerogoti radikalisme yang tidak hanya masuk ke tengah masyarakat umum, tetapi juga masuk ke hampir setiap instansi pemerintahan yang ada.
''Ini saja masih belum tertangani dengan baik, jangan menambah masalah baru, mereka sudah menyebut negara ini thogut, mau apa lagi?'' katanya, Selasa (11/2).
Gus Afif menambahkan, pembubaran ormas-ormas yang memiliki ajaran radikal tidak berimbas pada adanya gebrakan di sejumlah daerah untuk menertibkan ASN-nya yang terlibat dalam organisasi tersebut, termasuk di Surabaya.
''Ini menjadi gunung es lagi, yang sewaktu-waktu akan kembali meletus,'' katanya.
Terkait wacana pemulangan orang Indonesia yang bergabung dengan ISIS, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan pemerintah sudah memutuskan untuk tidak memulangkan Warga Negara Indonesia (WNI) yang terlibat jaringan terorisme di luar negeri, termasuk jaringan ISIS.
Mahfud, di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/2/2020), menjelaskan keputusan tersebut karena pemerintah ingin memberi rasa aman kepada 267 juta rakyat Indonesia di Tanah Air dari ancaman tindak terorisme.
Berdasarkan data yang dikemukakan Mahfud, terdapat 689 WNI yang merupakan teroris lintas batas atau foreign terrorist fighter/FTF.
"Karena kalau teroris FTF ini pulang itu bisa menjadi virus baru yang membuat rakyat 267 juta itu merasa tidak aman," kata dia usai rapat dengan Presiden Joko Widodo.