Bisnis.com, SURABAYA – Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur menilai bahwa proses pendataan nilai tukar petani (NTP) ataupun nelayan (NTN) hanya cukup dilakukan di on farm atau sampai produksi hulu.
Kepala BPS Jatim, Teguh Pramono menjelaskan NTP atau NTN sebetulnya adalah early warning atau peringatan dini terhadap usaha pertanian, apakah masih menguntungkan atau tidak sehingga hitungannya tidak sampai fase kesejahteraan (hilir) masyarakat petani.
“Jadi kalau misalnya angka NTP di bawah 100 atau yang dibayar petani lebih banyak dari yang diterima setiap bulan secara terus menerus ini jadi early warning. Hati-hati kalau petani lari tidak mau bertani, siapa yang akan menyediakan pangan,” jelasnya kepada Bisnis, Senin (20/8/2018).
Dia menjelaskan NTP atau NTN tersebut tidak bisa didata atau ditelusuri sampai proses hilir petani misalnya dari produksi gabah menjadi produksi beras kemasan, atau produksi buah pisang lalu diolah sampai hilir menjadi produksi keripik pisang.
“Memang sudah banyak petani yang mulai bergerak sampai hilir dan petani punya nilai tambah, tetapi hilir itu sudah masuk ranah industri karena ada proses pengolahan. Sedangkan NTP dan NTN adalah peringatan bahwa komoditas di pertanian tersebut menguntungkan atau tidak,” jelasnya.
Sebelumnya, Pemprov Jatim mengusulkan kepada BPS agar pengolahan data statistik untuk NTP dan NTN dilakukan sampai hasil hilirisasi yang diproduksi petani atau nelayan, sehingga NTP dan NTN bisa tampak lebih besar sesuai nilai kesejahteraan petani.
BPS Jatim mencatat, pada Juli 2018, NTP mengalami penurunan 0,12% dari 105,50 menjadi 105,37. Penurunana terjadi karena indeks harga yang diterima petani lebih rendah dibandingkan kenaikan indeks harga yang harus dibayar petani.
Sub sektor yang turun NTP nya adalah tanaman perkebunan rakyat turun 1,56%, tanaman pangan turun 0,07%, dan sektor perikanan 0,54% serta hortikultura turun 0,04%. Sedangkan yang naik NTPnya adalah sub sektor peternakan sebesar 1,29%.