Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BPJS Kesehatan Tekor, Jokowi Sewot: Ini Urusan Teknis, Bukan Presiden

Kinerja BPJS Kesehatan yang te­rus-menerus defisit membuat Presiden Joko Widodo gere­getan. Pembenahan manajemen sistem di tubuh lem­baga itu dinilai sebagai solusi untuk mengatasi problem yang terus berulang tersebut, selain opsi kenaikan iuran.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami defisit./Bisnis-Radityo Eko
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami defisit./Bisnis-Radityo Eko

Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja BPJS Kesehatan yang te­rus-menerus defisit membuat Presiden Joko Widodo gere­getan. Pembenahan manajemen sistem di tubuh lem­baga itu dinilai sebagai solusi untuk mengatasi problem yang terus berulang tersebut, selain opsi kenaikan iuran.

Kinerja BPJS menjadi sorotan headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Kamis (18/10/2018). Berikut laporannya.

Kemarin, Rabu (17/10/2018), dalam Kongres Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh­ Indonesia (Persi), Presiden secara terang-terangan mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja BPJS Kesehatan yang selalu mengalami defisit sejak 2014.

Problem defisit itu juga berimbas pada pembayaran yang sering tertunda ke pihak penyedia layanan kesehatan, dalam hal ini rumah sakit.

“Ini adalah problem 3 tahun yang lalu. Kalau bangun sistemnya benar, gampang. Mestinya rampung di Menkes dan Dirut . Masak harus selalu dicarikan solusi. Urusan ini kok sampai Presiden. Kebangetan,” ujar Presiden.

Akibat defisit, BPJS Kesehatan harus mendapat suntikan dana talangan dari APBN. Baru-baru ini, lembaga tersebut baru saja mendapat suntikan Rp4,9 triliun untuk tahap pertama. Selanjutnya, suntikan dana akan didapat dari cukai rokok yang peraturan presiden (Perpres) sudah diteken oleh Presiden Jokowi.

“Lah kok enak banget ini. Kalau kurang, min­ta. Kalau kurang, minta. Mestinya ada mana­jemen sistem yang jelas sehingga ke­­pastian pembayaran rumah sakit jelas.”

Tahun ini, menurut hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pem­bangunan (BPKP), defisit BPJS Kese­hatan diperkirakan mencapai Rp10,98 triliun.

Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan teguran Presiden harus menjadi evaluasi bagi direksi BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan yang kinerjanya dinilai belum maksimal.

Hal itu terlihat dari masih tingginya tunggakan iuran yang mencapai Rp3,4 triliun per 31 Mei 2018. Di sisi lain, peserta pekerja penerima upah (PPU) masih sekitar 12,7 juta pekerja, sedangkan jumlah peserta PPU swasta sekitar 14,8 juta. Sementara itu, pengawasan terhadap rumah sakit masih kurang maksimal sehingga sering terjadi fraud.

Namun, lanjut Timboel, Presiden juga seharusnya menjelaskan ke publik mengapa pemerintah tidak menaikkan iuran Jaminan Kesehatan Nasional pada 2018 sesuai dengan perintah Perpres No. 111/2013. “Penerimaan utama JKN ini kan adalah iuran. Jadi kalau iuran tidak naik, maka cash flow BPJS akan terkendala.”

Memang, kata Timboel, pemerintah telah memberikan dana talangan sebesar Rp4,99 triliun untuk BPJS Kesehatan. Akan tetapi, hal itu dilakukan setelah terjadi defisit. Menurutnya, bila saja defisit diantisipasi dengan kenaikan iuran, maka tidak ada teriakan dari RS yang sampai ke Presiden.

LANGKAH PREVENTIF

Sementara itu, Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengimbau agar BPJS Kesehatan meningkatkan kemampuan penerimaan iuran sebagai tulang punggung pendapatan perseroan.

Dia menyatakan, saat ini Kemenkes tengah melakukan langkah preventif untuk pengeluaran perusahaan pelat merah itu. Hal itu bertujuan untuk mengerem defisit yang berkelanjutan.

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Zaenal Abidin berpendapat defisit berkepanjangan BPJS Kesehatan ini terjadi karena penanganannya tidak menyeluruh dan struktural.

“Banyak hal yang perlu direstrukturisasi terutama bagaimana menyeimbangkan pendapatan dan iuran serta pengeluaran dan manfaat, termasuk di dalamnya operasional BPJS Kesehatan.”

Adapun, Ketua Umum Persatuan Rumah Sakit Indonesia Kuntjoro Adi Purjanto berharap pemerintah segera menyelesaikan masalah defisit ini.

Di sisi lain, kenaikan iuran dinilai bisa menjadi solusi untuk menambal defisit.

“BPJS berpotensi memiliki defisit yang semakin besar setiap tahun dan berdampak beban kepada APBN. Ini harus diselesaikan, salah satunya dengan kenaikan iuran,” ujar peneliti LPEM Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiad.

Peneliti Indef Eko Listiyanto menilai selain kenaikan iuran, pemerintah perlu melakukan evaluasi manajemen BPJS kesehatan karena terjadi ketidaksinkronan antara penerimaan dan pengeluaran.

Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan, pernyataan Presiden itu menjadi perhatian BPJS Kese­hatan untuk meningkatkan koordinasi dengan para stakeholders terkait dengan penanggulangan defisit. (Anggara Pernando/Amanda K. Wardhani/Dika Irawan/Yanita Petriella)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper