Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penghiliran Batu Bara Terkendala Teknologi & Skala Keekonomian

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa upaya meningkatkan nilai tambah batu bara masih menghadapi kendala teknologi dan nilai keekonomian. Hanya satu bentuk peningkatan yang paling maju, yaitu pembuatan briket batu bara.
Aktivitas bongkar muat batu bara di salah satu tempat penampungan di Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (3/10/2018)./ANTARA-Irwansyah Putra
Aktivitas bongkar muat batu bara di salah satu tempat penampungan di Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (3/10/2018)./ANTARA-Irwansyah Putra

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa upaya meningkatkan nilai tambah batu bara masih menghadapi kendala teknologi dan nilai keekonomian. Hanya satu bentuk peningkatan yang paling maju, yaitu pembuatan briket batu bara.

Berdasarkan Permen ESDM 25/2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara, pasal 16 menyebutkan bahwa pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan peningkatan nilai tambah batu bara melalui kegiatan pengolahan untuk komoditas tambang batu bara yang meliputi: Peningkatan batu bara, pembuatan briket batu bara, pembuatan kokas, pencairan batubara, gasifikasi batu bara, serta coal slury.

Dirjen Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan bahwa perusahaan yang saat ini telah melakukannya adalah PT Bukit Asam Tanjung Enim di Sumatra Selatan dengan kapasitas produksi 10.000 ton briket batu bara per tahun.

“Produksinya memang belum besar, tetapi sudah berjalan karena memang tingkat permintaannya yang belum tinggi. Pemetaan kembali pengguna briket untuk industri kecil dan menengah,” katanya saat rapat dengar pendapat di Komisi VII, Senin (15/10/2018).

Bambang melanjutkan, nilai tambah lainnya nampaknya masih jauh realisasinya selama 2 faktor yakni keekonomian dan teknologi belum bisa terpenuhi.

Dia mencontohkan untuk gasifikasi yang mencakup underground coal gasification (UCG) juga masih menunggu legalisasi pilot project dalam bentuk SK penugasan. Adapun 2 badan usaha telah menlakukan usulan pengembangan lokasi. Pertama yakni PT Medco Energi Mining International bersama dengan Phoenix Energi Ltd di Tarakan, Kalimantan Timur serta di Rimau, Blok Senda, Sumatera Selatan.

Hingga kini, tutur Bambang pilot project belum dijalnankan Medco lantaran meminta WKK nigas bisa diubah menjadi WIUP Batubara ketika sudah beroperasi. Perusahaan selanjutnya adalah PT Sugico, di wilayah Barito, Kalimantan selatan, serta Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan.

“Kalau dari balitbang sepertinya teknologinya sudah bisa, tapi nilai ekonominya belum bisa masuk,”imbuhnya.

Produk dari UCG ini nantinya dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar pada pembangkit listrik dan atau bahan baku untuk industri petrokimia termasuk pupuk, gas alam sintetis, dan BBM sintetis sehingga dalam jangka panjang dapat meningkatkan pasokan  listri dan atau gas bumi.

Sementara itu lanjut dia terkait peningkatan mutu batu bara (coal upgrading) ada usulan pengembang lokasi upgraded brown coal di Palimanan. Adapula PT ZJG Respurces yang telah menandatangani nota kesepahaman dengan PT Pesona Khatulistiwa yang akan membangunnya di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.

“Kami masih perlu membuat regulasi pedoman pemanfaatna batu bara untuk ini,”ujarnya.

Peningkatan batu bara mutu rendah kurang dari 5.000 kcal/kg memang harus diubah menjadi batubara menengah sampai tinggi atau lebih besar dari 6.000 kcal/kg dengan cara pengurangan kandungan total air.

Selanjutnya yakni pembuatan kokas juga masih perlu dipetakan baik tingkat pasokan dan permintaannya. Kedepannya kata dia langkah yang harus ditempuh adalah memfasilitasi produsen batubara kalori tinggi dengan pengguna kokas untuk kemungkinan pengusahaan pembuatan kokas metalurgi dari coking coal.

Titik temu juga belum terjadi untuk pemrosesan batubara menjadi bahan bakar sintesis dari proses pencairan batu bara. Kerjasama pengembangan secara langsung yang dilakukan dengan Kobe Steel Jepang sementara pun harus diberhentikan. Akibat taka da titik temu terkait siapa yang menanggung resiko teknologi, metode pembiayaan proyek, serta komitmen insentif dari pemerintah.

Hal yang sama terjadi untuk proyek kerjasama komersialisasi secara tidak langsung dengan Sasol, Afrika Selatan. Negosiasi  pendanaan pre FS dan persetujuan dengan calon partner tidak diteruskan akobat tak ada titik temu.

Jalan panjang juga nampaknya akan terjadi bagi proses pembuatan Coal Slurry, padahal potensi offtaker  adalah subsitusi MFO atau minyak berat pada pembangkit listrik, kilang minyak, dan industri. Yakni PLN untuk pembangkit listrik, Pertamina (kilang minyak atau EOR), ataupun sebagai bahan bakar langsung untuk pengeringan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Sepudin Zuhri

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper