Bisnis.com, JAKARTA — Lonjakan impor produk pertanian dan hortikultura sepanjang Januari—Agustus 2018 berpotensi berlanjut pada periode-periode selanjutnya.
Ekonom Indef Rusli Abdullah mengatakan, pelonggaran impor sejumlah produk hortikultura dan pertanian karena tuntutan Amerika Serikat (AS) di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) menjadi salah satu penyebab membengkaknya impor komoditas pertanian pada tahun ini.
Namun, dia menilai, penyebab paling utama dari tren lonjakan impor produk pertanian itu adalah persoalan kebutuhan domestik yang terus meningkat tanpa dibarengi oleh pasokan yang kuat di dalam negeri.
“Untuk beberapa produk seperti susu, memang ada pengaruh setelah revisi Peraturan Menteri Pertanian [Permentan] karena permintaan WTO dari AS dan juga 80% konsumsi susu nasional masih disuplai dari impor. Namun, selain faktor tersebut, impor susu lebih banyak disebabkan oleh permintaan domestik yang tinggi,” katanya kepada Bisnis.com, Senin (17/9/2018).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari—Agustus 2018, produk jagung, tepung terigu, daging lembu, mentega, garam, dan kakao mengalami kenaikan impor terbesar secara year on year (yoy). Sementara itu, produk susu mengalami kenaikan impor yang signifikan secara month to month (mom) pada Agustus 2018. (Lihat grafis).
Seperti diketahui, regulasi impor susu dilonggarkan mulai Juli 2018 setelah adanya revisi Permentan No.26/2017 menjadi Permentan No.30/2018 dan Permentan No.33/2018 tentang Penyediaan dan Pembelian Susu.
Revisi aturan tersebut pada prinsipnya menghilangkan mandatori kemitraan antara perusahaan susu dengan peternak lokal sebagai salah satu pertimbangan dalam penerbitan rekomendasi impor.
Selain itu, Rusli memperkirakan, kebutuhan domestik yang tinggi dan pasokan dalam negeri yang terbatas—serta sentimen dari revisi sederet Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) dan Permentan pascatuntutan AS di WTO—akan membuat impor komoditas pertanian kembali naik.
GANGGUAN PRODUKSI
Di sisi lain, Sekretaris Dewan Jagung Nasional Maxdeyul Soya memaparkan, kenaikan impor jagung salah satunya disebabkan oleh kemarau panjang pada tahun ini, yang memicu kekeringan di sejumlah sentra produksi yang masih mengandalkan sistem tadah hujan.
Akibatnya, gangguan produksi tersebut membuat kebutuhan jagung di dalam negeri terpaksa harus dicukupi melalui impor. Dengan demikian, aktivitas impor jagung diproyeksi masih akan berlanjut setidaknya hingga akhir tahun ini.
Maxdeyul menjabarkan, kekeringan membuat produksi jagung pada tahun ini tidak akan mencapai target yang ditentukan oleh Kementerian Pertanian, yakni sebanyak 30 juta ton.
Pada tahun ini, sebutnya, produksi jagung diprediksi hanya akan mencapai 25 juta ton dari kebutuhan nasional yang menembus 28 juta ton.
“Siklus tahunan memang ada penurunan produksi pada paruh kedua setiap tahunnya, tetapi gangguan produksi membuat pasokan jadi terbatas,” jelasnya.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia atau National Meat Processor Association (Nampa) Ishana Mahisa mengatakan, kenaikan impor daging lembu disebabkan oleh kebutuhan dalam negeri yang besar.
Dia menyebutkan kebutuhan daging sapi nasional pada tahun ini ditaksir mencapai 600.000 ton. Padahal, kemampuan produksi dalam skala nasional hanya 530.000 ton.
“Untuk itu, impor memang dibutuhkan, supaya menjaga harga tetap stabil di pasaran. Selama pasokan di dalam negeri belum aman, maka masih dibutuhkan impor. Namun, impor tentu tetap memperhatikan kebutuhan nasional,” ujarnya.
Dia pun menyebutkan revisi Permentan No.23/2018, perubahan atas Permentan No.34/2016, tentang Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan dan Olahan akan mempermudah dan meningkatkan aktivitas impor daging lembu pada masa mendatang.
Saat dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan berpendapat, kenaikan impor sejumlah produk hortikultura dan pertanian lebih dipicu oleh kebutuhan dalam negeri yang tinggi.
Dia pun melihat pelonggaran aturan impor hortikultura dan pertanian akibat tuntutan AS di WTO, tidak berpengaruh banyak terhadap pasokan dari luar negeri ke Indonesia. “Tetap kita pantau, selama kenaikan itu sesuai dengan kebutuhan, berarti tidak masalah,” ujarnya.
Dari segi ekspor, para pelaku usaha di sektor pertanian dan perkebunan sebelumnya pesimistis dapat memacu penjualan ke luar negeri akibat sejumlah tekanan dari sisi harga internasional. (Bisnis 17/9)
Beberapa komoditas andalan yang diproyeksi sulit dinaikkan ekspornya a.l. sawit, kopi, dan karet. Adapun, pengusaha kakao masih optimistis ekspor bisa membaik hingga akhir tahun ini, ditopang oleh permintaan cokelat yang tinggi jelang Natal dan Tahun Baru.
Kenaikan Nilai Impor Komoditas Pertanian Terbesar (juta US$)
-------------------------------------------------------------------------------
Komoditas Januari—Agustus 2017 Januari-Agustus 2018
-------------------------------------------------------------------------------
Jagung 67,43 88,57
Terigu 9,56 13,48
Daging sapi 374,80 423,70
Mentega 76,14 99,37
Garam 51,72 62,47
Susu 352,37 318,37
Kakao 287,54 358,65
-------------------------------------------------------------------------------
Kenaikan Volume Impor Komoditas Pertanian Terbesar (juta kg)
-------------------------------------------------------------------------------
Komoditas Januari—Agustus 2017 Januari-Agustus 2018
-------------------------------------------------------------------------------
Jagung 296,16 408,76
Terigu 31,84 42,58
Daging sapi 106,60 120,93
Mentega 14,33 15,53
Garam 1.551,35 1.940,45
Susu 144,16 141,09
Kakao 125,65 168,31
-------------------------------------------------------------------------------
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2018
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel