Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Para Pengusaha Optimistis Kinerja Neraca Dagang Segera Pulih

Para pelaku usaha optimistis kinerja neraca perdagangan Indonesia akan memulai fase perbaikan sepanjang sisa tahun ini, ditopang oleh potensi penguatan ekspor sejumlah komoditas utama.
Aktivitas perdagangan di pelabuhan/Bisnis.com
Aktivitas perdagangan di pelabuhan/Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA — Para pelaku usaha optimistis kinerja neraca perdagangan Indonesia akan memulai fase perbaikan sepanjang sisa tahun ini, ditopang oleh potensi penguatan ekspor sejumlah komoditas utama.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno memproyeksikan ekspor Indonesia selama semester II/2018 akan mengalami peningkatan dari paruh pertama tahun berjalan yang mencapai US$88,02 miliar.

Menurut proyeksi para eksportir, kenaikan ekspor pada paruh kedua tahun berjalan akan mencapai 10%—14%, berkat adanya peluang akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. 

"Saya kira di semester II tahun ini, ekspor Indonesia akan meningkat dibandingkan dengan pencapaian pada enam bulan pertama tahun ini," ujarnya kepada Bisnis, Minggu (16/9/2018).

Menurutnya, peningkatan ekspor itu dapat tercapai apabila pemerintah dapat mengusahakan akses pasar dengan kerangka preferential trade agreement (PTA), free trade agreement  (FTA), dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). 

"Pembiayaan modal kerja untuk kapasitas produksi yang masih idle. Ini perlu dilakukan untuk peningkatan ekspor," katanya.

Benny juga berharap ada upaya untuk menurunkan biaya logistik darat dan pelabuhan guna meningkatkan ekspor. Selain itu, pemerintah harus mempercepat restitusi pengembalian pajak pertambahan nilai (PPN) dari 1 tahun menjadi 3 bulan untuk kegiatan ekspor. 

Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Shinta W. Kamdani mengatakan, perbaikan neraca dagang tersebut beberapa di antaranya disebabkan oleh kebijakan pajak penghasilan (PPh) impor dan perluasan mandatori B20.

"Perbaikan sangat mungkin terjadi. Tetapi tidak terlalu besar. Sebab, beberapa produk ekspor kita masih bergantung bahan baku impor. Butuh waktu untuk lakukan peralihan ke produk substitusi.”

Menurutnya, pada Agustus, neraca dagang Indonesia masih akan mengalami defisit, tetapi tidak sebesar Juli. Hanya saja dia tidak dapat memperkirakan nilainya. Seperti diketahui, neraca perdagangan RI pada Juli mencatatkan defisit  sejumlah US$2,03 miliar.

Untuk itu, dia meminta pemerintah lebih proaktif mendorong ekspor dengan memperdalam riset pasar di negara tujuan. Salah satunya dengan memberikan data dan kajian komprehensif mengenai kebutuhan konsumen negara tujuan kepada pengusaha yang ingin ekspor.

Langkah itu, lanjur Shinta, dapat dilakukan oleh  atase atau perwakilan dagang di luar negeri. Pasalnya, saat ini dia belum melihat upaya maksimal perwakilan dagang RI di luar negeri untuk membuka pasar.

Pemerintah, lanjutnya, juga perlu secara proaktif membantu UKM yang memiliki potensi ekspor tetapi tidak memahami prosedur ekspor. Apalagi, dia melihat tahapan ekspor di Indonesia relatif rumit.

Sebaliknya, hingga akhir tahun ini diperkirakan tidak akan ada penurunan impor yang signifikan dibandingkan dengan realisasi tahun lalu yang mencapai US$156,97 miliar. 

Sekjen Gabungan Importir Seluruh Indonesia (GINSI) Erwin Taufan menuturkan pada paruh pertama tahun ini, impor Indonesia mencapai US$89 miliar. "Penurunan impor untuk semester kedua pasti tidak besar, karena meleset planning-nya akibat naik secara signifikan dolarnya."

Selain itu, para importir masih harus menyelesaikan kontrak untuk sisa waktu 4 bulan hingga akhir tahun ini. Namun, dia mengakui aturan pajak impor atau PPh Pasal 22 akan berdampak pada impor tahun depan.

Memang saat ini, lanjutnya, pemerintah telah melakukan pemotongan impor bahan baku yang cukup signifikan. Dia mencontohkan dari 36.000 kuota impor tiap produk dipotong hingga menjadi 3.000 kuota saja. 

"Saya meminta agar pemotongan ini tak begitu besar. Pemotongan kuota ini harus dilihat itu untuk bahan baku atau konsumsi. Jangan sampai pemotongan signifikan ini berpengaruh ke industri," katanya.

Untuk menyikapi penurunan impor yang diperkirakan terjadi pada akhir tahun ini, pihaknya melakukan pengencangan ikat pinggang karena tak bisa begitu saja menaikkan harga. "Kami lakukan tekan biaya yang enggak perlu. Cuma biaya logistik kan susah," ucap Erwin. 

PRODUK UTAMA

Pada perkembangan lain, sebagian pelaku industri ekspor produk utama Indonesia juga optimistis dapat meningkatkan penjualan ke luar negeri di tengah kondisi nilai tukar rupiah yang masih melemah. 

Untuk diketahui, produk ekspor utama Indonesia menurut catatan Kementerian Perdagangan a.l. tekstil dan produk tekstil (TPT), elektronik, karet dan produk karet, sawit, produk hasil hutan, alas kaki, otomotif, udang, kakao, dan kopi.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) Ali Soebroto menuturkan, pelemahan nilai tukar rupiah ini dapat berdampak pada peningkatkan ekspor karena harga yang lebih kompetitif.

"Bagi yang sudah ekspor, diharapkan bisa bertahan atau meningkatkan volume ekspornya, saat ini rupiah agak lemah, selayaknya ekspor bisa membaik," ujarnya.

Menurutnya, permasalahan saat ini yakni pasar ekspor produk manufaktur—khususnya barang elektronik—tidak bisa berkembang dan cenderung menurun karena biaya produksinya relatif mahal.

Ekspor produk elektronik yang kemungkinan akan semakin meningkat volume dan nilainya kebanyakan ditujukan ke pasar negara maju untuk produk dengan spesifikasi yang lebih tinggi, sementara untuk spesifikasi bawah tidak bisa bersaing.

Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budhi Wibowo berpendapat ekspor komoditas udang masih sangat berpeluang untuk ditingkatkan devisal hasil ekspor (DHE)-nya. 

"Perkiraan saya, kalau kita bisa mengembangkan lahan baru atau mengubah tambak-tambak traditional menjadi intensif 10.000 hektare akan bisa menambah devisa sekitar US$1 miliar," ucapnya.

Dari segi pasar ekspor udang, Indonesia perlu melakukan upaya diversifikasi pasar mengingat saat ini pasar udang Indonesia terlalu tergantung kepada Amerika Serikat karena lebih dari 60 % diekspor ke Amerika Serikat. Pangsa pasar udang Indonesia ke pasar dunia masih di bawah 5% sehingga terdapat peluang untuk peningkatan ekspor.

Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Beromtor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara menuturkan, pada semester II/2018, ekspor mobil dari Indonesia bisa lebih baik ketimbang semester I/2018 karena ada produk baru yang diminati di negara tujuan ekspor. 

Adapun, lima besar negara tujuan ekspor otomotif RI adalah Filipina, Arab Saudi, Bangladesh, Jepang dan Meksiko.

Pada 2017, jumlah produk mobil Indonesia tercatat mencapai 1,1 juta unit. Dari jumlah tersebut, hanya 200.000 unit yang diekspor, sedangkan dari 1,9 juta unit mobil yang diproduksi Thailand, 1,1 juta sudah untuk memenuhi kebutuhan ekspor.

"Indonesia memanfaatkan kekosongan industri otomotif yang terjadi di Australia karena potensi pangsa pasar yang cukup besar, yakni mencapai 1,3 juta unit per tahun," tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper