Bisnis.com, JAKARTA – Kebuntuan koalisi di antara kubu capres Joko Widodo dan Prabowo Subianto berpeluang mengubah peta politik sehingga memunculkan poros ketiga pada Pilpres 2019.
Hal itu dikatakan Pangi Syarwi Chaniago, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, mencermati dinamika politik yang tengah berkembang menjelang pilpres.
Menurutnya, munculnya poros baru sangat mungkin disebabkan oleh perpecahan di antara parpol pendukung masing-masing capres. Pasalnya, masih ada resistensi dan tingkat penerimaan yang rendah atas keputusan Jokowi atau pun Prabowo terhadap pilihan cawapres yang akan mendampinginya.
Pangi menilai situasi ini membuka peluang dan poros ketiga bisa hidup dan tumbuh karena bisa saja tiga poros atau tetap dua poros, namun dengan komposisi yang berbeda. Dia meyakini beberapa partai sedang mempersiapkan diri untuk memilih opsi tersebut.
Meski sejauh ini poros koalisi Pilpres 2019 masih seperti lima tahun lalu, namun sesuatu hal yang luar biasa bisa saja terjadi. Maklum, politik adalah seni ketidak-mungkinan, yang mungkin bisa menjadi tidak mungkin, yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin.
Menurutnya, kemungkinan adanya poros lain di luar Prabowo-Jokowi adalah karena pertama, apabila diloloskannya uji materi (judicial review/JR) terkait ambang batas parpol mengusung pasangan capres-cawapres dan JR terkait presidential threshold nol persen.
"Kedua, diloloskannya JR terkait masa jabatan wakil presiden. Situasi ini tentu akan sangat menguntungkan kubu Jokowi untuk memenangkan kompetisi yang semakin besar,” ujarnya.
Untuk itulah dibutuhkan lawan tanding yang sepadan dari poros Gerindra. Dengan demikian, nama-nama yang selama ini muncul sebagai cawapres bisa saja berubah total," ujarnya.
Jika situasi ini terjadi maka dapat dipastikan peta politik akan berubah drastis dan semua partai akan punya kesempatan yang sama untuk mengajukan pasangan capres-cawapres sendiri dan atau akan terjadi rekomposisi koalisi bahkan akan terbentuk koalisi yang sama sekali baru.
Menurutnya, kapasitas, popularitas, akseptabilitas terhadap kandidat menjadi maha penting selain sense of politics, membaca trend dan apa yang betul-betul diinginkan dan menjadi kebutuhan rakyat.
"Kemampuan membaca sentimen publik dengan menerjemahkannya ke dalam keputusan politik strategis yang populis, berimplikasi nyata terhadap dukungan yang luas dari masyarakat," kata Pangi.
Dia menilai mempertimbangkan posisi capres-cawapres tidak bisa dilakukan melalui pertimbangan dan kebijakan yang bersifat elitis, pragmatis dan transaksional sehingga terkesan hanya memaksakan kehendak elit dan ego sektoral masing-masing partai koalisi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel