Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI: Inflasi, Pangan, dan Kemiskinan

Untuk menekan kemiskinan, salah satu pekerjaan rumahnya adalah stabilisasi harga pangan. Untuk menstabilkan harga pangan secara sistemik dan terencana bisa dimulai dengan penetapan jenis pangan pokok yang diatur cadangannya seperti amanah UU Pangan No. 18/2012.
Pekerja membongkar muatan beras Bulog dari kapal, di Pelabuhan Krueng Geukueh, Aceh Utara, Aceh, Rabu (30/8)./ANTARA-Rahmad
Pekerja membongkar muatan beras Bulog dari kapal, di Pelabuhan Krueng Geukueh, Aceh Utara, Aceh, Rabu (30/8)./ANTARA-Rahmad

Bisnis.com, JAKARTA – Bagi Indonesia, stabilisasi harga pangan merupakan keniscayaan. Lebih dari itu, harga pangan yang terjangkau kantong warga merupakan keharusan. Harga pangan yang stabil dan terjangkau bakal membuat inflasi terkendali. Inflasi yang terkendali membuat ekonomi bergerak dan kemiskinan bisa ditekan.

Belum lama ini BPS merilis data kemiskinan. Per Maret 2018, jumlah penduduk miskin mencapai 25,95 juta orang (9,82%), menyusut dari 27,77 juta orang (10,64%) pada tahun sebelumnya. Dengan capaian ini, kemiskinan di Indonesia untuk kali pertama dalam sejarah menembus satu digit. Ini patut diapresiasi.

Menurut BPS, ada tiga faktor yang saling terkait yang membuat kemiskinan menurun. Pertama, selain terjadi lonjakan nilai, aneka bantuan sosial (bantuan pangan nontunai, beras sejahtera, program keluarga harapan, dana desa, kartu Indonesia sehat dan kartu Indonesia pintar) disalurkan tepat waktu. Bansos tunai pada kuartal I/2018 tumbuh 87,6%, lebih tinggi dari kuartal I/2017 (3,39%).

Kedua, kenaikan nilai tukar petani. Ketiga, inflasi terkendali. Pada rentang September 2017—Maret 2018 inflasi hanya 1,92%.

Kinerja pengendalian inflasi pemerintah memang kian baik. Indonesia juga kian terbiasa memitigasi fluktuasi ekonomi global. Pada rentang 2014—2017, inflasi terus menurun, dari 8,36% (2014) berturut-turut menjadi 3,35% (2015), 3,02% (2016) dan 3,61% pada 2017. Kecuali 2017, bila dilihat dari sumbernya, pengendalian inflasi masih menyisakan masalah.

Inflasi yang rendah disumbang terkendalinya kelompok harga yang diatur pemerintah (adminsitered prices) dan inflasi inti. Sebaliknya, inflasi banyak didorong harga pangan (volatile foods).

Hal ini tecermin dari sumbangan inflasi pangan yang semakin besar. Pada 2014 andil pangan (bahan pangan, serta pangan olahan dan tembakau) baru 40,31% dari inflasi 8,36%. Namun, pada 2015 andil pangan terhadap inflasi naik jadi 61,19% dari inflasi nasional sebesar 3,35%, dan naik lagi menjadi 70,1% dari inflasi 3,01% pada 2016.

Khusus pada 2017, andil pangan hanya 26% dari inflasi 3,61%. Pada 2017, harga-harga pangan memang stabil, tetapi stabil tinggi. Ini bertahan hingga sekarang. Hal ini menandakan pemerintah belum mampu mengendalikan harga dan membuat pangan relatif terjangkau.

Harga-harga pangan yang stabil tinggi tercermin dari naiknya sumbangan garis kemiskinan makanan terhadap garis kemiskinan pada Maret 2018, yaitu dari 73,35% pada September 2017 menjadi 73,48% pada Maret 2018.

Jenis komoditas makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai garis kemiskinan adalah beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan, dan gula pasir. Secara khusus, beras mengambil pangsa 23,87% dari total pengeluaran Rp401.222. Bahkan, di perdesaan beras menyedot 26,79% dari total belanja keluarga miskin, disusul rokok kretek 10,21% dan telur 3,28%.

Fluktuasi harga pangan, harga pangan yang stabil tinggi dan inflasi akan menekan daya beli konsumen. Bagi rakyat, terutama yang miskin, inflasi akan menggerogoti daya beli mereka. Inflasi akibat instabilitas harga pangan akan mengekspose warga miskin pada posisi rentan.

Karena itu para ekonom menyebut inflasi ‘perampok uang rakyat’. Jumlah warga miskin tidak kunjung turun secara signifikan satu dekade terakhir, karena instabilitas harga pangan, dan harga pangan yang tinggi masih menjadi rutinitas berulang.

Oleh karena itu, bisa dipahami presiden di era pemerintahan manapun, termasuk Presiden Jokowi, berupaya mengendalikan harga pangan. Diinisiasi sejak 2016, tahun ini pemerintah lewat Permendag No. 58/2018 mengatur harga acuan pembelian 8 komoditas di tingkat produsen dan penjualan di konsumen, yakni jagung, kedelai, gula, minyak goreng, bawang merah, daging beku dan daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras.

Ini merupakan perluasan dari tujuh komoditas yang diatur pada 2016. Pada saat yang sama dibentuk Satgas Pangan. Dibentuk 3 Mei 2017, Satgas bergerak cepat menangani sejumlah kasus, mulai dugaan penimbunan hingga penyimpangan distribusi. Satgas bertugas berkoordinasi dengan para pihak terkait pangan, memantau harga pangan pokok, memastikan ketersediaan stok, kelancaran distribusi, mengawasi rantai pasok, memastikan konsumen/masyarakat mendapatkan harga adil, dan melakukan penegakan hukum di bidang pangan.

Jika harga pangan pokok naik, Satgas mengulik penyebab, mengecek stok di gudang distributor dan mekanisme distribusi, bahkan menginterogasi produsen (petani/importir), distributor dan pedagang. Pendek kata, jika sebelumnya mereka bisa merajalela, kini pelaku usaha, terutama penguasa dominan di pasar, diawasi secara ketat.

Ketidakadilan

Apa hasilnya? Pertama, sejak diberlakukan beleid harga acuan belum efektif. Menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, pada 23 Juli 2018, harga beras, daging (sapi dan ayam ras), gula, minyak goreng, bawang merah, dan telur ayam ras di pasar tradisional berada di atas acuan. Harga memang cenderung stabil, tapi stabil tinggi.

Kedua, biaya transaksi rantai pasok pangan cenderung kian tinggi. Bahkan ada tren balas jasa mengarah para ketidakadilan: pedagang dan penguasa jalur distribusi menikmati balas jasa yang kian tinggi. Kecenderungan ini terekam dari survei pola distribusi perdagangan empat komoditas strategis oleh BPS.

Dari survei 2015 dan 2017, marjin perdagangan dan pengangkutan beras naik dari 10,42% menjadi 26,12% (naik 150%), cabai merah dari 25,33% menjadi 62,39% (146%), bawang merah dari 22,61% menjadi 43,56% (92,6%), dan daging ayam ras dari 11,63% menjadi 25,54% (119,6%).

Ketiga, jumlah titik distribusi cenderung kian pendek, tetapi pasar kian menjauh dari efisien. Kecenderungan ini juga terekam dari survei pola distribusi perdagangan komoditas strategis oleh BPS. Dari survei pada 2015 dan 2017 terungkap bahwa titik distribusi beras berkurang dari lima menjadi empat, daging ayam ras dari 2—7 menjadi tiga titik distribusi, dan bawang merah dari 2—5 menjadi empat titik distribusi.

Temuan ini menunjukkan bahwa titik distribusi yang makin pendek tidak bisa secara apriori disimpulkan pasar semakin efisien.

Uraian ini berujung pada satu hal, yaitu bahwa untuk menekan kemiskinan, salah satu pekerjaan rumahnya adalah stabilisasi harga pangan. Untuk menstabilkan harga pangan secara sistemik dan terencana bisa dimulai dengan penetapan jenis pangan pokok yang diatur cadangannya seperti amanah UU Pangan No. 18/2012.

Penetapan ini sebagai penanda negara hadir dan menstabilisasikan harga serta pasokan pangan. Setelah memilih dan menetapkan jenis pangan, negara harus menunaikan pembentukan kelembagaan pangan seperti amanat Pasal 126—129 UU Pangan. Bulog bisa menjadi tangan kanan lembaga ini dalam pengelolaan cadangan dan stabilisasi harga.

Selain cadangan, agar instrumen stabilisasi lengkap maka harus diperkuat dengan beleid harga (atas dan bawah), aturan ekspor—impor, dan distribusi.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Kamis (2/8/2018)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper