Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

AS Menghamburkan Uang Rp223,9 Triliun Selama 11 Tahun di Afghanistan

Pemerintah AS sudah menghabiskan dana sebesar US$15,5 miliar, sekitar Rp223,9 triliun, secara sia-sia di Afghanistan dalam jangka waktu 11 tahun terakhir.
Pakaian dan alas kaki para korban ledakan bom bunuh diri di Kabul, Afganistan, Minggu (22/4)./Reuters-Omar Sobhani
Pakaian dan alas kaki para korban ledakan bom bunuh diri di Kabul, Afganistan, Minggu (22/4)./Reuters-Omar Sobhani

Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah AS sudah menghabiskan dana sebesar US$15,5 miliar, sekitar Rp223,9 triliun, secara sia-sia di Afghanistan dalam jangka waktu 11 tahun terakhir.

Hal itu disampaikan oleh lembaga watchdog Special Inspector General for Afghanistan Reconstruction (SIGAR), yang berdiri pada 2008, seperti dilansir dari NBC News.

Laporan tersebut disusun oleh SIGAR berdasarkan audit dan penyelidikan atas penghamburan dana serta penipuan yang terjadi selama AS berupaya membangun kembali Afghanistan. Audit dilakukan atas permintaan tiga anggota Kongres AS pada 2017.

Penghamburan dana US$15,5 miliar tersebut terjadi antara 2008 hingga 31 Desember 2017, atau baru 29% dari pengeluaran yang sudah diaudit.

Dalam suratnya kepada ketiga anggota Kongres, Inspektur Jenderal Khusus John Sopko menyebut angka itu kemungkinan baru sebagian dari total dana yang dihamburkan, disalahgunakan, dan gagal digunakan secara seharusnya.

Menurut SIGAR, dana lebih dari US$4 miliar yang seharusnya digunakan untuk program stabilisasi di Afghanistan justru berujung pada korupsi, strategi yang memperuncing konflik, dan meningkatkan dukungan bagi para pemberontak.

Sementara itu, anggaran US$7,3 miliar untuk menghentikan perdagangan narkoba di negara itu tidak mampu memenuhi tujuannya. Bahkan, produksi opium sekarang diklaim berada di level tertinggi sejak 2002.

Adapun ketiga anggota Kongres tersebut adalah Walter B. Jones dari Partai Republik, Tim Walberg dari Partai Republik, dan Peter Welch dari Partai Demokrat.

Militer AS sudah berada di Afghanistan pada 2001, setelah peristiwa 9 September 2001, untuk berperang melawan Taliban. Sekarang, 17 tahun kemudian, situasi keamanan di negara Asia Selatan itu kembali memburuk dengan meningkatnya keberadaan Taliban dan ISIS.

Serangan bom bunuh diri yang terjadi hampir tiap pekan terus memakan korban jiwa.

Presiden AS Donald Trump sebelumnya pernah menyampaikan kemungkinan menarik tentaranya di Afghanistan karena menilai keberadaan tentara AS sudah terlalu lama. Namun, misi keamanan tersebut akhirnya diperpanjang setelah ada pembicaraan internal di Gedung Putih.

Meski demikian, para petinggi militer dan diplomat AS sekarang mulai mendorong terjadinya pembicaraan damai. Masih ada kemungkinan Trump bakal mengambil keputusan atas kehadiran AS di negara tersebut secara tiba-tiba.

Pada Kamis (26/7), Reuters melaporkan serangan bunuh diri dari Taliban kembali terjadi dengan menyasar konvoi badan intelijen nasional di Kabul. Juru bicara Kepolisian Kabul Hashmat Stanekzai mengungkapkan 4 orang meninggal dan 5 lainnya terluka.

Sementara itu, pada Selasa (24/7), Taliban telah mengambil alih kontrol dua distrik di Provinsi Paktika, yang berbatasan dengan Pakistan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Annisa Margrit
Editor : Annisa Margrit
Sumber : NBC News, Reuters
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper