Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PERSPEKTIF: Membangun Asa dari Jembatan Ekspor

Pengembangan FTA/PTA tentu bukan satu-satunya resep memperbesar ukuran ekspor Indonesia. Keberhasilan memacu kinerja ekspor banyak ditentukan oleh kapasitas kita untuk menghasilkan produk-produk yang berdaya saing, sesuai dengan permintaan/persyaratan pembeli, dan dengan suplai cukup.
5 Produk unggulan ekspor ekspor nonmigas Januari-Mei 2018 (dalam us4 Juta)./Bisnis-Ilham Nesabana
5 Produk unggulan ekspor ekspor nonmigas Januari-Mei 2018 (dalam us4 Juta)./Bisnis-Ilham Nesabana

Bisnis.com, JAKARTA – Di tengah ketidakpastian iklim ekonomi dan perdagangan dunia, Indonesia bersikukuh menjalankan diplomasi yang mendukung penguatan sistem perdagangan multilateral WTO (World Trade Organization) dan tata aturan pendukungnya di tingkat regional ataupun bilateral.

Indonesia juga terus melancarkan perundingan atas beberapa inisiatif free trade agreement (FTA) dan preferential trade agreement (PTA).

Konsistensi diplomasi Indonesia tersebut didasari oleh keyakinan bahwa kepentingan nasional kita paling baik dapat diperjuangkan dan diwujudkan dalam suatu lingkungan eksternal yang stabil di bawah naungan sistem perdagangan multilateral WTO dan tata aturan pendukungnya, termasuk pengaturan WTO-plus (FTA-CEPA-PTA).

Kita menyadari sepenuhnya bahwa perdagangan kerap menjadi korban zaman ketidakpastian. Pasca-2008, yaitu sejak terjadinya krisis keuangan global, makin sering kita saksikan resistensi terhadap tata aturan perdagangan internasional dan merebaknya semangat merkantilisme.

Namun, dalam menanggapi postur kebijakan Presiden Donald Trump yang mencoba ‘melecehkan’ WTO dan mem-bully negara yang dianggapnya menerapkan praktik perdagangan tidak adil, Indonesia tetap memosisikan diri sebagai bagian dari kekuatan yang konsisten berpegang pada tata aturan WTO dan WTO-plus.

‘Premanisme’ ala Trump kita pan­dang sebagai tantangan jang­ka pendek yang harus ditundukkan oleh akal se­hat.

Memilih akal sehat artinya tetap mendukung pengaturan perdagangan antarnegara yang didasarkan pada aturan yang disepakati bersama, yang terbukti manjur mengelola lalu lintas perdagangan dunia pada 1948—2008 pada angka pertumbuhan 6%—7% per tahun.

Pidato Presiden Joko Widodo di depan Rapat Kerja Kementerian Perdagangan 31 Januari 2018 menjadi salah satu pemicu penting peningkatan upaya mempercepat perundingan FTA/PTA yang diharapkan akan membangun jembatan khusus guna memperlancar lalu-lintas perdagangan Indonesia dengan beberapa negara mitra.

Salah satu kunci jawaban atas keprihatinan yang disampaikan Presiden Jokowi–yaitu tentang inferiornya nilai perdagangan Indonesia dibandingkan dengan negara anggota Asean lain–adalah dengan memastikan bahwa kepentingan ekspor Indonesia tidak terhambat ketika memasuki pasar di negara tujuan.

Dengan merundingkan FTA/PTA, Indonesia dapat meminta jaminan dari kesepakatan/agreement-nya bahwa hal-hal yang menyangkut persoalan tariff, standar mutu, rules of origin, dan hambatan teknis maupun non-teknis lainnya akan dihilangkan. Dengan kata lain, melalui FTA, Indonesia dapat memperoleh preferensi/kemudahan yang lebih dibandingkan dengan negara lain yang tidak memiliki ‘jembatan’ dengan negara mitra.

Urgensi untuk mengembang­kan jalinan FTA/PTA da­pat pula dilihat dari sisi se­balik­nya, yaitu bagaimana nasib perdagangan dan in­ves­tasi jika kita menghindari pe­ngem­bangan jembatan-jembatan preferensial tersebut?

Yang paling mungkin terjadi adalah trade diversion, dan bahkan investment diversion. Pangsa pasar yang dikuasai Indonesia di Negara A, akan direbut oleh Negara B yang menjalin FTA/PTA dengan Negara A.

Di dunia nyata, skenario ini terjadi misalnya terkait dengan direbutnya pangsa ekspor sawit Indonesia oleh Malaysia di Turki, dan Pakistan (untuk kasus Pakistan, Indonesia merebut kembali pangsa pasar sawit dari Malaysia setelah Indonesia menandatangani Indonesia-Pakistan FTA tahun 2013).

Kita sadari sepenuhnya bahwa pengembangan FTA/PTA tentu bukan satu-satunya resep memperbesar ukuran ekspor Indonesia. Boleh jadi pengaruh terbanyak justru berada di berbagai lini yang lebih hulu.

Keberhasilan memacu kinerja ekspor banyak ditentukan oleh kapasitas kita untuk meng­­­hasilkan produk-produk yang berdaya saing, sesuai de­ngan permintaan/persyaratan pembeli, dan dengan suplai cu­kup.

Itu sebabnya unggulan ekspor kita banyak terkonsentrasi pada produk-produk keluaran pabrikan raksasa atau komoditas perkebunan yang memang tidak habis terserap oleh pasar dalam negeri.

produk umkm

Terkait dengan skema promosi dagang yang dijalankan pemerintah, yang banyak berfokus pada produk-produk UMKM, maka diperlukan kerja sama yang efektif dan intensif seluruh pemangku kepentingan  termasuk keuangan, industri, pertanian, jasa, pendidikan dan latihan, tenaga kerja, telekomunikasi, distribusi, perhubungan, infrastruktur, dan logistik.

Keberhasilan kita membangun sisi suplai yang jenis-jenis produknya makin beragam, melimpah (tidak mengambil jatah suplai ke dalam negeri), berdaya saing, dan memenuhi  persyataran konsumen, sangat dinantikan oleh para perunding FTA/PTA agar memungkinkan kita dapat memajukan permintaan akses pasar yang lebih besar ke negara mitra.

Singkatnya, sulit bagi kita berambisi jadi negara yang sukses mengekspor–dengan angka pertumbuhan ekspor yang tinggi–jika kapasitas kita baru pada tahap bagaimana memproduksi barang/komoditi yang cukup untuk memenuhi permintaan dalam negeri saja.

Menghadapi realita strata kapasitas produksi dan produktivitas nasional saat ini, perundingan FTA/PTA mau tidak mau kita atur sedemikian rupa agar hasilnya memberikan dampak maksimal pada penjualan produk-produk barang dan jasa andalan kita.

Hal itu dilakukan seraya memastikan bahwa timbal balik pembukaan pasar domestik dilakukan sedapat mungkin hanya untuk menampung importasi bahan baku, barang setengah jadi, atau barang modal yang memang dibutuhkan dalam pembangunan.

Keberhasilan meningkatkan volume maupun nilai ekspor secara revolusior sangat dibutuhkan, untuk mengubah nasib bangsa ini, serta untuk meningkatkan sokongan perdagangan pada peningkatan pendapatan nasional, pendapatan pekerja, dan kesejahteraan umum.

Jika terus-menerus kebijakan perdagangan luar negeri (regulasi impor) “ditumbalkan” untuk memproteksi psikologi “ketidaksiapan” untuk berkompetisi di era globalisasi, lalu kapan kita akan bicara peningkatan daya saing, pengembangan sisi suplai, reformasi struktural (termasuk revolusi mental), dan pembangunan di berbagai sektor lain yang target kinerjanya benar-benar disesuaikan dengan ritme globalisasi.

Mungkin kita perlu membedakan antara proyek FTA/PTA sebagai kepentingan konstan dengan strategi jangka pendek penguatan Rupiah maupun neraca transaksi berjalan melalui langkah-langkah pengelolaan impor.

Kita mungkin perlu lebih seksama melihat peluang yang diberikan kerangka aturan yang ada. Regulasi WTO memang menjunjung tinggi lalu lintas perdagangan internasional yang sedapat mungkin tanpa hambatan. Namun pengecualian berdasarkan kepentingan lain yang sahih dan urgen juga diberikan peluang untuk didahulukan. Hal yang lebih urgen dibanding perdagangan, menurut WTO, termasuk kondisi darurat neraca pembayaran.

Jadi, kemungkinan kita tetap dapat melakukan pengelolaan impor—antara lain dengan hanya memprioritaskan impor bahan baku dan barang modal yang urgen, jika kita dapat membuktikan adanya realita domestik yang urgen— tanpa bertentangan dengan tata aturan internasional yang sehat.

*) Tulisan dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin (16/7/2018)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper