Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rent Control Jadi Solusi Backlog Perumahan

Guna mengatasi angka backlog perumahan 11,6 juta unit, pemerintah perlu membuat kebijakan rent control untuk memberikan keadilan ruang bagi masyarakat yang belum memiliki rumah.
Bangunan hunian vertikal berdiri di antara kawasan padat penduduk di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (11/3)./Antara-Aditya Pradana Putra
Bangunan hunian vertikal berdiri di antara kawasan padat penduduk di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (11/3)./Antara-Aditya Pradana Putra

Bisnis.com, JAKARTA – Guna mengatasi angka backlog perumahan 11,6 juta unit, pemerintah perlu membuat kebijakan rent control untuk memberikan keadilan ruang bagi masyarakat yang belum memiliki rumah.

Associate Director Investment Service Colliers International Indonesia Aldi Garibaldi mengakui saat ini dalam properti masih terjadi ketidakadilan ruang yang kontraproduktif terhadap pemenuhan kebutuhan rumah rakyat.

Misalnya saja, di Jakarta masih terdapat banyak unit ruang apartemen mewah yang kosong, tetapi pada di saat yang bersamaan angka kebutuhan rumah semakin meningkat. Aldi menyatakan untuk mengatasi ketidakadilan tersebut perlu kebijakan bernama rent control atau kontrol sewa. Menurut Aldi, public dalam hal ini pemerintah juga punya hak mengakses hasil private sector atau swasta.

“Public masuk ke ruang private, ada unit. Katakanlah pemerintah ada unit yang bisa disewakan. Harganya misal Rp500.000 harus dikontrol, dan dinaikkan sesuai inflasi. Jangan kemudian harga properti naik, rental juga naik dua kali lipat. Penyewa kemudian malah pindah,” ujar Aldi di World Trade Center, Rabu (4/7/2018).

Dia menyebut kunci pengentasan masalah perumahan terletak pada kebijakan pemerintah yang adil dan tegas. Contoh lain, kata Aldi, selain rent control adalah amortisasi tenor yang diperpanjang menjadi 30 tahun serta ekspansi dari badan usaha milik negara (BUMN) sektor perumahan. Misalnya, Perumnas harus melakukan ekspansi pengetahuan bersama sesame BUMN seperti PP, dan BUMN negara lain.

“BUMN lain dibuat holding. Mengapa perumahan tidak? Harusnya kerjasama biar policynya adil. Dengan luxury apartment, pemerintah wajibkan 10% dari unit untuk pekerja, buruh, guru. Contoh ini cocok misalnya diterapkan di Cikarang [kawasan industri],” papar Aldi.

Aldi berpendapat program pemerintah saat ini berumah rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) ataupun rumah dengan uang muka atau down payment (DP) 0 berpotensi menimbulkan masalah sosial di masa yang akan datang. Dia menjelaskan, program ini menciptakan stigma bahwa rumah-rumah yang disediakan adalah rumah khusus untuk masyarakat menengah ke bawah yang tidak mampu membeli rumah.

“Ini akan menjadi stigma, anda mampu beli rumah murah disana karena pemerintah. Ini nantinya bisa jadi masalah sosial,” jelas Aldi.

Selain itu, program rumah DP 0 bisa ditekan secara politis karena berpotensi menyulitkan konsumen dengan biaya cicilan yang mahal. Sementara tenor, atau jangka waktu cicilan kredit paling lama hanya 20 tahun.

"Di luar negeri perbankan tak bermasalah. Harusnya BI bukan mortgage concern. Tetapi menekan amortisasi tenor sampai 30 tahun," papar Aldi.

Dia juga mencontohkan dengan proyek reklamasi Jakarta, untuk menjaga keadilan ruang, perlu kebijakann tegas dari pemerintah mengalokasikan lahan di area itu untuk perumahan rakyat. Sehingga, rumah yang dibangun di atas lahan reklamasi tidak menjadi arena eksklusif untuk kelas menengah atas saja, tetapi juga ada ruang untuk masyarakat lain.

Selain itu, dia mengatakan permasalahan properti tidak akan selesai dengan kebijakan relaksasi Loan to Value (LTV) dari Bank Indonesia (BI). Dia berpendapat, pengembang dan perbankan tetap akan mengalami kesulitan. Salah satunya adalah masalah penambahan non performing loan (NPL) properti.

Menurut dia, relaksasi LTV ini tidak berdampak kepada masyarakat, khususnya masyarakat kelas menengah bawah. Dia menilai perlu ada komitmen dari perbankan atas usulan tersebut. Jika tidak, maka masyarakat kelas menengah bawah belum tentu bisa merasakan kepemilikan properti.

"Jadi put out of market itu tidak enak. Anda harus tinggal di pinggiran, Tangerang, sementara yang menentukan hidup anda ada di Jakarta," ungkapnya.

Aldi menilai kebijakan yang ada saat ini belum tepat sasaran untuk seluruh masyarakat, namun hanya mencakup sebagian masyarakat saja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper