Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Soal Inflasi, Bank Sentral di Asia Tenggara Ambil Sikap Berbeda

Bank Sentral di negara-negara Asia Tenggara mengambil sikap kebijakan yang berbeda kendati perekonomian mereka mendapat pukulan dari kekuatan yang sama

Kabar24.com, JAKARTA – Bank Sentral di negara-negara Asia Tenggara mengambil sikap kebijakan yang berbeda kendati perekonomian mereka mendapat pukulan dari kekuatan yang sama.

Dolar AS menguat, harga minyak menjulang, dan kebijakan moneter global mengetat menambahkan tekanan terhadap negara-negara utama emerging market untuk melindungi mata uang dan arus modal keluar.

Di tengah-tengah volatilitas seperti itu, para bank sentral tetap memiliki target inflasi yang harus dipertimbangkan. Sementara naiknya harga minyak mentah membuat para pembuat kebijakan di Asia Tenggara sama-sama menambahkan subsidi bahan bakar ke dalam perangkat perang inflasinya, kebijakan suku bunga mereka masih tidak seragam.

Adapun Filipina dan Indonesia tampil sebagai yang paling tertekan dan membutuhkan pengetatan kebijakan untuk alasan yang beragam. Sementara itu, Thailand dan Malaysia tetap dengan keputusan mereka untuk sabar.

Mengutip data Bloomberg, Kamis (5/7/2018), target inflasi Filipina berada di kisaran 2%-4%, sementara Indeks Harga Konsumen (Consumers’ Price Index/CPI) secara tahunan berada di level 4,6%.

Inflasi beruntun sama sekali tidak tampak akan mereda di Filipina. Ekonom melihat ada kenaikan untuk kelima kalinya pada Juni di dalam data ekonomi yang akan dirilis pada Kamis (5/7/2018).

Pertumbuhan harga juga mungkin akan meningkat menjadi 4,8% untuk Juni, atau naik dari 4,6% pada bulan sebelumnya. Hal itu pun menjadi rekor terbaru dalam lima tahun terakhir dan memberikan keyakinan kepada mereka yang sempat khawatir bahwa ekonomi Filipina bisa menjadi terlalu panas karena kuatnya pertumbuhan.

Selain itu, peso Filipina juga merupakan mata uang yang terlemah di Asia pada tahun ini. Hal itu memberikan alasan lebih banyak kepada para pejabat untuk memikirkan pengetatan karena pasar negara berkembang ingin menahan arus modal keluar.

Oleh karena itu, Bank Sentral Fiipina menaikkan suku bunga acuan Overnight Reserve Repurchase sebesar 25 bps, masing-masing pada Mei dan Juni. Selanjutnya, Gubernur Bangko Ng Pilipinas Nestor Espenilla juga masih membuka pintu untuk kenaikan berikutnya.

Dari dalam negeri, Indonesia memiliki target inflasi untuk tahun ini sebesar 2,5%-4,5%. Adapun Indeks CPI secara tahunan saat ini berada di level 3,12%.

Bank Indonesia secara mengejutkan pada pekan lalu menaikkan suku bunga 7-Days Repo Rate (7-DRR) sebesar 50 bps—setelah menaikkan suku bunga sebanyak dua kali pada Mei—yang memperlihatkan betapa yakinnya para pembuat kebijakan untuk menstabilkan rupiah di tengah-tengah arus modal keluar.

Melemahnya inflasi untuk ketiga kalinya berturut-turut pada Juni dapat memberikan rasa lega bagi pada pembuat kebijakan. Akan tetapi, nilai mata uang Garuda yang masih di bawah tekanan membuat para pembuat kebijakan mengalihkan perhatiannya dari pertumbuhan harga untuk saat ini.

“Kendati rupiah stabil untuk jangka pendek, kami memperkirakan kenaikan lebih lanjut selagi defisit neraca berjalan terus melebar dan The Fed semakin menaikkan suku bunga,” ujar Tamara Henderson, Ekonom Bloomberg, seperti dikutip Bloomberg, Kamis (5/7/2018).

Sementara itu, Thailand memiliki target inflasi di kisaran 1%-4% dengan indeks CPI tahunannya berada di level 1,38%.

Data resmi yang dirilis pada Senin (2/7/2018) memperlihatkan inflasi Thailand secara mengejutkan melemah sedikit pada Juni ketimbang tahun sebelumnya. Pencapaian itu juga berbeda dari perkiraan ekonom untuk kenaikan sebanyak empat kali berturut-turut.

Kendati demikian, banyak yang memperkirakan bahwa Bank Sentral Thailand bergerak semakin dekat untuk pengetatan kebijakan moneter. Pasalnya, harga minyak brent telah mendekati US$80 per barel dan baht Thailand turun 1,6% terhadap dolar pada tahun ini.

Adapun para pembuat kebijakan telah mendiskusikan kondisi dan waktu yang tepat untuk normalisasi kebijakan di dalam rapat kebijakan bulan lalu, ketika mereka menahan suku bunga acuan mendekati rekor terendah di level 1,5%.

Untuk itu, ekonom di Australia&New Zealand Banking Group Ltd. memperkirakan kenaikan sebesar 25 bps secepatnya pada awal November 2018.

Berbeda dengan tiga negara sebelumnya, inflasi di Malaysia tidak terlalu menjadi fokus perhatian. Pasalnya, transisi politik di sana memicu ketidakpastian, ditambah lagi Gubernur Bank Sentral Malaysia telah mengundurkan diri secara mendadak.

Sebagai negara eksportir produk energi, naiknya harga minyak memiliki dampak yang baik untuk inflasi Malaysia. Pengeluaran pajak barang dan jasa sebesar 6% diperkirakan tetap dapat menjaga tingkat pertumbuhan harga, setidaknya hingga pajak penjualan diperkenalkan pada akhir tahun ini.

Setelah kenaikan suku bunga pada Januari, inflasi Malaysia telah lebih stabil, sehingga tidak ada desakan untuk mengetatkan kebijakan moneter. Hanya 4 dari 22 ekonom yang disurvei Bloomberg pada pertengahan Juni yang memperkirakan ada kenaikan lagi hingga akhir tahun ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dwi Nicken Tari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper