Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Alasan Indonesia Makin Berani Hadapi UE Soal Diskriminasi Ekspor CPO

Indonesia kian percaya diri menghadapi ancaman Uni Eropa untuk menghapus biodiesel dan produk turunan sawit sebagai sumber energi terbarukan pada 2021, menyusul pernyataan China untuk menaikkan impor sawit dari RI sejumlah 500.000 ton.
Kelapa sawit./Bloomberg-Taylor Weidman
Kelapa sawit./Bloomberg-Taylor Weidman

Bisnis.com, JAKARTA—Indonesia kian percaya diri menghadapi ancaman Uni Eropa untuk menghapus biodiesel dan produk turunan sawit sebagai sumber energi terbarukan pada 2021, menyusul pernyataan China untuk menaikkan impor sawit dari RI sejumlah 500.000 ton.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pajaitan menegaskan kedatangan Perdana Menteri China Li Keqiang ke Tanah Air merupakan sinyal kuat untuk menunjukkan posisi tawar RI kepada Uni Eropa (UE).  

Apalagi, dalam kunjungan kenegaraannya pada Senin (7/5), Li sepakat menambah impor crude palm oil (CPO) dari Indonesia sejumlah 500.000 ton mulai tahun ini. Jika ditotal, itu berarti ekspor minyak sawit mentah RI ke Negeri Panda akan naik menjadi 4,2 juta ton.

Selama ini, India, Eropa, dan China merupakan tiga pangsa pasar terbesar CPO Indonesia. Volume ekspor CPO ke India pada tahun lalu mencapai 7,6 juta ton, ke Eropa 5 juta ton, dan ke China 3,7 juta ton.

“Indonesia tak harus ‘menjual diri’, dan [UE] tidak boleh pula menganggap Indonesia tidak [berdaya]. Sekarang lobi dengan UE berjalan bagus dan mereka juga tahu posisi [tawar] RI. Mereka tahu soal China yang [menambah] pembelian CPO,” ujarnya awal pekan ini.   

Sejak akhir tahun lalu, Parlemen UE mengupayakan phase out atau penganuliran biodiesel yang terbuat dari minyak sawit pada 2021. Langkah tersebut dipandang diskriminatif, lantaran minyak nabati lainnya tidak dikenai phase out hingga 2030.  

Luhut menegaskan kunjungannya bulan lalu ke Benua Biru bukan untuk memelas agar rencana phase out dihentikan. Namun, untuk memberitahu posisi tawar Indonesia sebagai negara pengekspor CPO terbesar dan salah satu pengimpor pesawat Air Bus terbanyak.

Sementara ini, sambungnya, RI akan fokus pada penambahan volume ekspor CPO ke China. Negara beribu kota Beijing itu juga berencana menanam modal ke industri produk turunan minyak sawit. Rencana itu disambut positif oleh Presiden Joko Widodo.

 “[Untuk merealisasikan] Ekspor 500.000 ton CPO ke China, [Indonesia] masih perlu menyelesaikan proses administrasi untuk beberapa waktu. Kami harapkan tahun ini sudah mulai [ekspornya],” ungkap Luhut.

 STAGNANSI EKSPOR

Di lain pihak, Direktur Utama Council of Palm Oil Producing Countries (CPOC) Mahendra Siregar memaparkan selama ini ekspor CPO ke UE stagnan, bahkan cenderung turun. Penyebabnya, jumlah konsumsi minyak sawit di sana tidak berubah.

Pada 1990, 75% ekspor CPO Indonesia masuk ke pasar UE. Namun, pada 2000, kontribusinya hanya 24%. Satu dekade kemudian, porsi penjualan CPO ke UE makin merosot menjadi 15% dan turun lagi menjadi 14% pada 2017.

Kendati secara nilai terjadi kenaikan enam kali lipat, kata Mahendra, kontribusi ekspor CPO ke UE anjlok secara volume akibat turunnya permintaan. Sebaliknya, permintaan dari pasar lainnya naik hingga 30 kali lipat.

“[Dari upaya diplomasi sawit RI ke UE] Kami menginginkan [adanya] kebebasan perdagangan dan tidak boleh ada diskriminasi, serta kesepahaman seluruh pihak untuk mencapai [industri] sawit berkelanjutan,” ucapnya.

Dia menilai hambatan yang dilakukan UE terhadap produk sawit RI hanyalah buah dari persaingan dagang. Anggota Parlemen dari Eropa Barat lah yang paling mendukung rencana phase out biodiesel CPO, karena kawasan itu merupakan produsen utama minyak rapeseed.

Padahal, masih banyak anggota UE yang merupakan pengguna minyak sawit. Misalnya saja, Spanyol, yang menolak rencana phase out karena minyak sawit masih dibutuhkan sebagai bahan baku utama sejumlah industri di Negeri Matador.

Sekadar catatan, selama ini perluasan kebun sawit RI sudah melalui proses moratorium hingga 12 juta hektare. Jumlah tersebut sudah tidak bisa ditambah lagi. Namun, upaya moratorium dilakukan untuk mendorong industri sawit berkelanjutan.

Sejauh ini pemerintah telah melakukan tiga cara untuk mendongkrak perdagangan produk berbasis kelapa sawit. Pertama, mendorong kerja sama ekonomi antarnegara melalui proposal potensi investasi di Indonesia dan pengurangan hambatan dagang.

Kedua, melakukan promosi terkait dengan pembangunan berkelanjutan. Ketiga, melakukan retaliasi jika lobi-lobi sawit dengan negara-negara penghambat ekspor—seperti UE—mengalami jalan buntu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rayful Mudassir

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper