Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

UOB : Pemerintah dan BI harus Hati-hati dengan 3 Hal Ini

UOB berharap pemerintah dan otoritas moneter dapat berhati-hati dalam menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri, seiring dengan meningkatnya resiko perang dagang, kenaikan suku bunga The Fed, dan sangat tergantungnya ekonomi terhadap komoditas global.
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (5/3/2018)./ANTARA-Puspa Perwitasari
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (5/3/2018)./ANTARA-Puspa Perwitasari

Bisnis.com, LOMBOK – UOB berharap pemerintah dan otoritas moneter dapat berhati-hati dalam menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri, seiring dengan meningkatnya resiko perang dagang, kenaikan suku bunga The Fed, dan sangat tergantungnya ekonomi terhadap komoditas global.

Senior VP Kepala Riset Ekonomi UOB Enrico Tanuwidjaja menjelaskan, ketiga hal tersebut memiliki dampak yang signifikan terhahap stabilitas di sektor finansial domestik. 

"Dampaknya ada yang direct, ada juga yang indirect, cuma signifikan," katanya dalam acara Pelatihan Wartawan BI, di Lombok, Sabtu (21/4/2018).

Pertama, Enrico mengatakan, negara-negara yang akan terkena dampak dari ancaman perang dagang ini adalah negera-negara yang memiliki surplus dagang cukup besar terhadap Amerika. "Dan Indonesia termasuk 20 terbesar diantara negara tersebut," katanya.

Secara tak langsung, katanya, potensi pelemahan ekonomi China yang diakibatkan oleh perang dagang berdampak pada Indonesia.

Namun, Enrico menjelaskan, perang dagang tersebut sementara ini tidak akan berdampak terlalu besar terhadap indonesia, karena pembatasan hanya terjadi pada besi, baja dan alumunium.

"Dari US$190 miliar nilai ekspor kita ke Amerika, cuma 2,6% dari baja, biji besi dan alumunium, dan kalau kita detail lagi ke China, hanya 1,3%," jelasnya.

Bahkan, dengan keadaan ini sebenarnya, jika diinginkan, pemerintah bisa memanfaatkan ini untuk mendapatkan besi dan baja yang murah dari China.

Karena, lanjutnya, sejauh ini Indonesia lebih banyak mengekspor besi dan baja dalam bentuk mentah, dan kembali impor dalam bentuk yang siap pakai.

Kedua, gonjang-ganjing kecepatan The Fed menaikkan suku bunganya cukup signifikan, dan berhasil menekan rupiah, dan sempat menembus 13.800. "Fed baru menaikan sekali, tetapi ini sudah cukup menekan pasar," katanya.

Dia mengatakan, penarikan likuidtas yang disuntik oleh Amerika, akan pelan-pelan dikurangi, dari US$90 miliar, jadi US$150 milliar hingga 2021 mendatang.

Ketiga, ketergantungan Indonesia terhadap komoditas masih cukup signifikan. Penybab tingginya NPL pada 2012 adalah ketergantungan terhadap komoditas.

Dalam riset yang dilakukannya, juga menunjukkan harga komoditas tidak akan mengalami kenaikan lebih tinggi dari saat ini."Curve yang sekarang, meski harga naik, dia diharapkan tidak naik lebih banyak lagi, kita harus teliti." 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : M. Richard
Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper