Pengrajin menyulam motif tapis di salah satu rumah warga di Kampung Tapis Negeri Katon, Pesawaran, Lampung, Jumat (5/5). Kain tenun khas Provinsi Lampung itu mulai dilirik wisatawan mancanegara./Antara-Ardiansyah
Fashion

Mengenal Etika Modifikasi Kain Daerah

Asteria Desi Kartika Sari
Senin, 2 April 2018 - 20:30
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA--Keragaman budaya seakan tidak pernah habis untuk digali lebih dalam sebagai dasar inspirasi untuk membuat suatu karya kreatif, salah satunya adalah fesyen. Tak heran, kain-kain daerah kini semakin gencar supaya diaplikasikan dalam perancangan busana.

Namun, dalam perancangan sebuah busana berbahan dasar kain daerah memang perlu ada perhatian dan pemahaman yang benar dari para perancang busana. Pasalnya memodifikasi atau memakai kain daerah ada aturannya.

Desainer Merdi Sihombing menjelaskan dibalik kain daerah terdapat cerita yang sudah lama ada. Sehingga kain tersebut memiliki kekhasan yang tidak diperbolehkan untuk diobrak-abrik lagi . "Biarkan ada ceritanya di situ," kata Merdi ditemui di Jakarta Convention Center.

Misalnya saja, katanya, pemotongan kain adat daerah tidak diperbolehkan. Apabila seorang desainer menginginkan untuk menggunakan kain adat dalam sebuah busana, namun tidak ingin menggunakannya secara keseluruhan maka desainer dapat melakukan rekayasa ulang kain.

Rekayasa yang dimaksud tersebut adalah dengan membuat kain baru dengan motif yang terinspirasi dari kain adat tersebut.

Senada, desainer Musa Widyatmodjo mengatakan, untuk kain adat yang sudah jelas peruntukannya sejak zaman nenek moyang memang tak boleh diacak-acak. Kain adat yang dimaksud tersebut adalah kain yang digunakan untuk upacara yang sakral seperti pernikahan, kematian, atau acara adat lainnya. Hal tersebut dilakukan supaya tidak mengurangi nilai budaya itu sendiri.

"Kalau kain yang dipakai untuk upacara adat, ya sudahlah jangan sok kreatif. Nenek moyang memang sudah menentukan peruntukannya, sudah sesuai dengan pakemnya," ujar Musa.

Dia mengatakan banyak orang mengakui sebagai masyarakat yang berbudaya. Namun, apabila mengobrak-abrik atau memotong kain warisan budaya, " berbudaya yang seperti apa?," katanya.

Selain itu, Musa melanjutkan, kain adat juga memiliki motif-motif yang khas dan disakralkan. Salah satu contoh, katanya, kain Soblok juga sudah banyak dijadikan busana. Kain Soblok merupakan kain yang digunak sebagi penutup jenazah. Oleh karena itu, menurutnya kurang tepat apabila digunakan untuk momentum yang kurang tepat.

"Kalau dijadikan baju untuk pesta, itu sesuatu yang tidak ada pada tempatnya ," ujarnya.

Kendati demikian, menurutnya tak selalu kain daerah tidak boleh dipotong ataupun dimodifikasi pada busana tertentu. Musa mengatakan, hal tersebut dapat disiasati atau dilihat dari sisi kelangkaan. Apabila kain tersebut langka, kain itu dianjurkan untuk tidak dipotong. Namun, apabila kain tersebut masih bisa diproduksi, maka masih dapat didaur ulang guna menghasilkan busana yang bernilai tinggi.

"Intinya, kain tradisonal kita dapat bicara kelangkaan, kalau langka jangan dipotong. Kalau masih bisa dibuat silahkan [dipotong], karena kalau beli lalu dikoleksi ekonominya tidak akan bergerak.

Musa mengatakan aturan tersebut memang sempat membuat banyak desainer merasa takut untuk mengaplikasikan kain daerah pada rancangannya, sehingga banyak masyarakat yang memakai kain tradisional.

Namun, saat ini sudah para desainer sudah mulai mencoba untuk menggunakan kain tradisional daerah untuk diaplikasikan dalam busana rancangannya dengan siluet global. Selain bertujuan untuk melestarikan budaya juga untuk menggaet konsumen yang lebih muda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro